Abstrak
Artikel
ini membahas mengenai perbandingan cerita pendek (cerpen) “Cinta
diatas Perahu Cadik”
karya Seno Gumira Ajidarma dan cerpen “Gerhana
Mata”
karya Djenar
Maesa Ayu dengan
menggunakan teori psikologi
sastra.
Psikologi sastra merupakan penelitian yang dilakukan dengan
menempatkan karya sastra sebagai gejala yang dinamis.
Kehadiran
psikologi sastra berkaitan erat antara aspek psikologis dengan
unsur tokoh dan penokohan yang ada pada karya sastra tersebut.
Sebagai objek psikologi
sastra,
kedua cerpen ini relevan
untuk dianalisis secara psikologis karena memberikan intensitas
pada aspek kejiwaan yang di alami oleh tokoh pada kedua cerpen
ini.
Kata
kunci:
perbandingan,
psikologi
sastra, cerpen
PENDAHULUAN
Karya
sastra sebagai cerminan kehidupan masyarakat
merupakan dunia subjektivitas yang diciptakan oleh pengarang. Di
dalamnya terdapat berbagai aspek kehidupan yang satu sama lainnya
saling berkaitan. Aspek kehidupan tersebut berupa aspek
psikologis, sosiologis, filsafat, budaya dan agama. Berbagai aspek
ini tidak lepas dari pengarang sebagai pusat penciptaan sebuah
karya sastra.
Kehidupan
dunia sastra yang terus berkembang dari masa ke masa terus
mendapat perhatian dengan banyaknya penelitian-penelitian terhadap
karya sastra. Karya sastra merupakan tumpahan ide dan pemikiran
juga pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Oleh
karena itu penelitian sastra melalui kajian ekstrinsik tentunya
tidak terlepas dari pengarang karya sastra tersebut. Tentunya
setiap pengarang memiliki ciri khas masing-masing dalam
menyampaikan ide, pemikiran dan pesannya. Dalam hal ini, sastra
bandingan dianggap menjadi kajian akademik yang menarik untuk
dilakukan sebuah penelitian sastra.
Menurut
Endraswara
(2003: 128-129)
sastra perbandingan sebagai wilayah keilmuan sastra yang
mempelajari keterkaitan antar sastra dan perbandingan sastra
dengan bidang lain. Jalin-menjalin antar karya sastra sangat
dimungkinkan, karena setiap pengarang menjadi bagian dari
pengarang lain. Setiap pengarang sulit lepas dari karya orang
lain, karena mereka harus membaca dan meresepsi karya orang lain.
Dalam
kajian sastra bandingan, selalu diperlukan kaidah-kaidah teoritis
yang berhubungan dengan ilmu sastra. Di samping itu, sastra
bandingan juga dimungkinkan membandingkan antara sastra dengan
bidang lain yang relevan seperti sejarah, filsafat, agama, dan
sebagainya. Kedua belah pihak kadang-kadang saling mendukung, ada
titik temu, dan sebaliknya juga ada yang berseberangan.
Mengingat
perlunya kaidah-kaidah teoritis dalam penelitian sastra bandingan,
penulis memilih mengkaji karya sastra
dengan teori psikologi sastra karena memberikan perhatian pada
masalah dalam kaitannya dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh
fiksional yang terkandung dalam karya sastra tersebut.
Nama
Seno Gumira Ajidarma dan Djenar
Maesa Ayu di
dunia sastra khususnya cerpen memang sudah tidak asing lagi. Seno
dan Djenar
merupakan pengarang cerpen yang sudah memiliki banyak karya
terkenal yang diterbitkan
secara nasional. Kedua pengarang ini sama-sama sering menghadirkan
ide,
pemikiran dan pesan dalam karya sastranya.
Hal
menariknya, kedua pengarang ini sama-sama menyuguhkan
psikologi kepribadian tokoh sebagai
ide penceritaan sehingga kedua cerpen inilah yang nantinya akan
dikaji.
Secara
umum, alasan pemilihan bahan kajian ini dikaitkan dengan latar
belakang kedua pengarang yang sama-sama sudah memiliki nama di
dunia cerpen nasional. Tentunya tidak menutup kemungkinan apabila
antara satu sama lain saling memberi pengaruh dalam kepenulisan
cerpennya. Berdasarkan penjabaran di atas, maka penulis akan
mempersembahkan sebuah karya tulis dengan judul “Analisis
Perbandingan psikologi
sastra dalam
Cerpen “Cinta
diatas Perahu Cadik”
Karya Seno Gumira Ajidarma dan Cerpen “Gerhana
Mata”
Karya Djenar
Maesa Ayu”.
METODE
PENELITIAN
Dalam
penelitian ini akan diperbandingkan cerpen yang berjudul “Cinta
diatas Perahu Cadik”
karya Seno Gumira Ajidarma dengan cerpen yang berjudul “Gerhana
Mata”
karya Djenar
Maesa Ayu.
Metode yang digunakan dalam kajian ini yakni metode penelitian
kualitatif induktif. Maksudnya, pengkaji berangkat dari pembacaan
dan pemahaman naskah karya sastra (cerpen) secara umum, kemudian
mengidentifikasi titik mirip atau dengan kata lain pengkaji
mencoba mendeskripsikan dan melihat kemiripan yang terdapat di
antara dua karya terlebut. Lebih khususnya lagi, titik
mirip yang menjadi tinjauan bukanlah dari sisi intrinsik cerpen,
melainkan dari sisi ekstriksik berupa teori
psikologi sastra.
Selanjutnya pengkaji menentukan gejala-gejala kemiripan yang
terjadi dengan cara penafsiran tersendiri dengan data-data yang
mendukung.
PENDEKATAN
Kajian
ini akan membahas mengenai karya sastra berupa cerpen yang
ditinjau dari segi psikologi
sastra.
Psikologi
sastra
dalam kajian ini pun difokuskan pada psikologi
kepribadianoleh tokoh
yang ada dalam cerpen. Ada dua cerpen yang dikaji untuk
selanjutnya dibandingkan atau yang biasa disebut tinjauan sastra
bandingan.
KONSEP
SASTRA BANDINGAN
Sastra
bandingan merupakan
suatu kajian yang mempelajari hubungan timbal balik karya sastra
dari dua atau lebih kebudayaan nasional yang biasanya berlainan
bahasa, dan terutama pengaruh karya sastra yang satu terhadap
karya sastra lain. Studi ini merupakan upaya interdisipliner,
yakni lebih banyak memperhatikan hubungan sastra menurut aspek
waktu dan tempat. Dilihat dari aspek waktu, sastra bandingan dapat
membandingankan dua atau lebih periode yang berbeda. Sedangkan
konteks tempat, akan mengikat satra bandingan menurut wilayah
geografis sastra.
Endraswara (2003:
129-140) memaparkan berbagai hal terkait dengan sastra bandingan
sebagai berikut. Tujuan sastra bandingan terbagi menjadi enam,
antara lain sebagai berikut. Pertama,
untuk mencari pengaruh karya sastra satu dengan yang lain dan atau
pengaruh bidang lain serta sebaliknya dalam dunia sastra. Kedua,
untuk menentukan makna karya sastra yang benar-benar orisinal dan
mana yang bukan dalam lingkup perjalanan sastra. Ketiga,
untuk menghilangkan kesan bahwa karya sastra nasional tertentu
lebih hebat dibanding karya sastra nasional yang lain. Dalam
kaitan ini karya sastra dipandang memiliki kedudukan yang
setingkat. Keempat,
untuk mencari keragaman budaya yang terpantul dalam karya sastra
satu dengan yang lainnya. Hal ini sekaligus untuk melihat buah
pikiran kehidupan manusia dari waktu ke waktu. Kelima,
untuk memperkokoh keuniversalan konsep-konsep keindahan universal
dalam sastra. Keenam,
untuk menilai mutu karya-karya dari negara-negara dan keindahan
karya sastra.
Pada
dasarnya, studi sastra bandingan akan mencari dua hal, yaitu: (1)
affinity
(pertalian, kesamaan) dan atau paralelisme serta varian teks satu
dengan yang lain; (2) pengaruh karya sastra satu kepada karya lain
atau pengaruh sastra pada bidang lainnya dan sebaliknya. Dua hal
tersebut masih bisa dikembangkan lagi menjadi beberapa lingkup
studi, antara lain: (1) perbandingan antara karya pengarang satu
dengan lainnya, pengarang sezaman, antar generasi, pengarang yang
senada, dan sebagainya; (2) membandingkan karya sastra dengan
bidang lain seperti arsitektur, pengobatan tradisional, tahayul,
dan seterusnya; dan (3) kajian bandingan yang bersifat teoritik,
untuk melihat sejarah, teori, dan kritik sastra.
Studi
sastra bandingan yang menyangkut dua karya sastra atau lebih
hendaknya menekankan pada empat hal, yaitu pengaruh, penetrasi,
dan popularitas. Pengaruh adalah daya dukung pengarang atau karya
sastra pada suatu negara kepada karya lain. Pengaruh ini merupakan
hal paling sentral dalam kajian sastra bandingan. Penetrasi yaitu
perembesan pengaruh satu karya sastra ke dalam karya sastra lain.
Adapun popularitas dan reputasi menyangkut kemashuran nama seorang
pengarang dan karyanya.
Sastra
bandingan juga dapat meliputi aspek pengaruh, sumber ilham
(acuan), proses pengambilan ilham atau pengaruh itu, dan tema
dasar. Dalam kaitannya ini, ada empat kelompok kajian sastra
bandingan jika dilihat dari aspek objek garapan yaitu (1) kategori
yang melihat hubungan karya satu dengan karya yang lainnya, dengan
menelusuri juga kemungkinan adanya pengaruh satu karya terhadap
karya yang lain (termasuk di sini adalah interdisipliner dalam
sastra bandingan seperti filsafat, sosiologi, agama, dan
sebagainya); (2) ketegori yang mengkaji tema karya sastra; (3)
kajian terhadap gerakan atau kecenderungan yang menandai suatu
peradaban; dan (4) analisis bentuk (genre) karya sastra.
Secara
garis besar sastra bandingan dapat dibedakan menjadi dua golongan
bentuk kajian, yaitu (1) kajian persamaan dan (2) kajian konsep
pengaruh. Kajian persamaan menjawab masalah alasan ataupun
penyebab terjadinya kesamaan (sengaja atau ketidaksengajaan).
Konsep pengaruh membahas mengenai anggapan bahwa suatu karya dapat
terlahir atas pengaruh karya sebelumnya yang dipengaruhi oleh
beberapa hal, yaitu (1) perkembangan karir pengarang, (2) proses
penciptaan pengarang, dan (3) tradisi atau budaya pengarang.
KONSEP
PSIKOLOGI SASTRA PSIKOANALISIS
Psikologi
sastra merupakan memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung
dalam suatu karya. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa analisis
psikologi sastra sama sekali terlepas dengan kebutuhan masyarakat.
Sesuai dengan hakikatnya, karya sastra memberikan pemahaman
terhadap masyarakat secara tidak langsung. Melalui pemahaman
terhadap tokoh-tokohnya, misalnya, masyarakat dapat memahami
perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan-penyimpangan lain yang
terjadi dalam masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan psikis.
Ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara
psikologi dengan sastra, yaitu: a) memahami unsur-unsur kejiwaan
pengarang sebagai penulis, b) memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh
fiksional dalam karya sastra, dan c) memahami unsur-unsur kejiwaan
pembaca.
Pada
dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah yang
kedua, yaitu pembicaraan dalam kaitannya dengan unsur-unsur
kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya. Pada
umumnya, aspek-aspek kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama
psikologi sastra. Dalam analisis, yang menjadi tujuan adalah tokoh
utama, tokoh kedua, tokoh ketiga dan seterusnya.
Psikologi
sastra sebagaimana dimaksudkan dalam pembicaraan ini adalah
cara-cara penelitian yang dilakukan dengan menempatkan karya
sastra sebagai gejala yang dinamis. Teori psikologi yang paling
dominan dalam analisis karya sastra adalah teori Freud (1856-1939)
yang membedakan kepribadian menjadi tiga macam, yaitu: Id,
Ego, dan Super Ego
. keberhasilan penelitian tergantung dari kemampuan dalam
mengungkapkan kekhasan bahasa yang oleh pengarang. Benar, yang
dominan adalah tokoh-tokoh tetapi perlu disadari bahwa keseluruhan
unsur disajikan melalui bahasa. Bagaimana tokoh-tokoh, gaya
bahasa, latar, dan unsur-unsur lain yang muncul secra
berulang-ulang, jelas menunjukkan ketaksadaran bahasa dan memiliki
arti secara khas. Bagi Freud, asas psikologi adalah alam bawah
sadar, yang disadari secara samar-samar oleh individu yang
bersangkutan. Menurutnya, ketidaksadaran justru merupakan bagian
yang paling besar dan paling aktif dalam diri setiap orang.
Freud
(Milner, 1992: 32-38) juga menghubungkan karya sastra dengan
mimpi. Sastra dan mimpi dianggap memberikan kepuasan secara tak
langsung. Mimpi seperti tulisan merupakan sistim tanda yang
menunjuk pada sesuatu yang berbeda, yaitu melalui tanda-tanda itu
sendiri. oleh karena itu, klasifikasi penelitian psikologi sastra
dibedakan menjadi: a) psikologi sastra melalui analisis dunia
kepengarangan, b) psikologi sastra melalui tokoh-tokoh dan
penokohan, dan c) psikologi sastra dalam kaitannya dengan citra
arketipe. Cara yang pertama disebut sebagai kritik arketipe sebab
analisis dipusatkan pada eksistensi ketaksadaran kolektif.
Psikologi
sastra, seperti telah disinggung diatas merupakan model penelitian
interdisiplin dengan menetapkan karya sastra sebagai posisi yang
lebih dominan. Atas dasar khazanah sastra yang luas, yang
dievokasi melalui tradisi yang berbeda-beda, unsur-unsur
psikologis pun menampilkan aspek-aspek yang berbeda-beda. Analisis
psikologis dibangun atas dasar kekayaan sekaligus perbedaan
khazanah kultural bangsa.
Psikologi
sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan
peranan studi psikologis. Dengan memusatkan perhatian pada
tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis konflik batin yang mungkin
saja bertentangan dengan teori psikologis. Dalam hubungan inilah
peneliti harus menemukan gejala yang tersembunyi atau gejala yang
disembunyikan oleh pengarangnya yaitu dengan memanfaatkan
teori-teori psikologi yang dianggap relevan. Menurut Wellek dan
Warren (1962: 92-93), dalam sebuah karya sastra yang berhasil,
psikologi sudah menyatu menjadi karya seni, oleh karena itu tugas
peneliti adalah menguraikannya kembali sehingga menjadi jelas dan
nyata apa yang dilakukan oleh karya tersebut. Dengan adanya kaitan
yang erat antara aspek psikologis dengan unsur tokoh dan
penokohan, maka karya sastra yang relevan untuk dianalisis secara
psikologis adalah karya-karya yang memberikan intensitas pada
aspek kejiwaan tersebut.
SINOPSIS
Sinopsis
Cerpen “Cinta
diatas Perahu Cadik”
Karya Seno Gumira Ajidarma
Dimulai
sejak Hayati pergi bersama Sukab yang bukan suaminya melainkan
suami Waleh tetangganya untuk pergi melaut dengan perahu cadik.
Mereka saling menyintai. Mertua Hayati kesal dengan menantunya itu
karena telah terang-terangan pergi bersama lelaki yang bukan
suaminya. Nenek tua itu pun jengkel dengan anak laki-lakinya,
suami Hayati yang tidak berusaha mengejarnya. Dullah suami Hayati
sudah pasrah, karena tahu mereka saling mencintai, dan bersedia
bercerai dengan Hayati. Begitu pula Waleh istri Sukab juga sudah
mengetahui perselingkuhan suaminya dengan Hayati. Waleh
mengharapkan mereka (Hayati dan Sukab) bisa kembali pulang dan
kemudian menikah.
Menjelang
tengah malam, nenek tua itu pergi dari satu gubuk ke gubuk lain,
menanyakan apakah mereka melihat perahu Sukab yang membawa Hayati
di atasnya. Jawaban mereka bermacam-macam, tetapi membentuk suatu
rangkaian. “ Ya, kulihat perahu Sukab menyalipku dengan Hayati
di atasnya. Kulihat mereka tertawa-tawa.” “Perahu Sukab
menyalipku, kulihat hayati menyuapi Sukab dengan nasi kuning dan
mereka tampaknya sangat bahagia”. “oh, ya, jadi itu perahu
Sukab! Kulihat perahu berlayar kumal itu menuruti angin, mesinnya
sudah mati, tetapi tidak tampak seorang pun di atasnya.
Tokoh-tokoh lain yang ada pada cerpen itu adalah nenek tua, mertua
Hayati yang sangat menentang tokoh utama berbuat selingkuh. Dia
terus mencari dan menanyakan tokoh utama sudah kembali dari melaut
apa belum. Tokoh pasangan yang dikhianati yaitu Dullah suami
Hayati, dan Waleh istri Sukab hanya bisa pasrah tanpa ada
kemarahan atau pun perlawanan atas perbuatan mereka. Waleh yang
sakit malaria di gubugnya hanya ditemani oleh anak perempuan usia
lima tahun yang bisu. Dia berharap Hayati bisa kembali dan
kemudian bisa menikah. Dullah yang sudah siap bercerai dari Hayati
tanpa ada perasaan marah atau dendam. Dia menerima apa adanya.
Namun nenek tua itu terus saja memendam kemarahan kepada Hayati
dan Sukab. “ Melangkah sepanjang pantai sembari menghindari air
pasang, nenek tua itu menggerundel sendirian. Bermain cinta di
atas perahu! Perbuatan yang mengundang kutukan! Aku hanya mau
bukti bahwa menantuku mati karena pergi dengan lelaki
bukan suaminya dan bermain cinta di atas perahu! Alam tidak akan
pernah keliru! Hanya para pendosa akan menjadi korban kutukannya!
Tetapi, kamu rugi belum menghukum si Jalang Hayati!”.
Dalam
Perahu terikat seekor ikan besar yang tertancap tombak milik
Sukab. Keduanya digambarkan tampak lusuh, kulit terbakar, pakaian
basah kuyup, giginya kuning sekali, tetapi mata keduanya
menyala-nyala karena semangat hidup yang kuat serta api cinta yang
membara. Keduanya mengerti cerita tentang ikan besar ini akan
berujung pada perceraian mereka masing-masing yang tak bisa
dihindari lagi. Keduanya juga mengerti, betapa bukan urusan
siapapun bahwa mereka telah bercinta di atas perahu cadik.
Sinopsis
Cerpen “Gerhana
Mata”
Karya Djenar
Maesa Ayu
Banyak
orang yang begitu takut pada malam. Pada gelap. Pada sesuatu yang
membuat mata kita seolah buta dan mau tak mau harus meraba-raba.
Membuat jantung mereka berdegup lebih kencang. Membuat mereka tak
tenang. Membuat mereka rela menukar ketidak-tenangan itu dengan
harga listrik walaupun harganya semakin tinggi menjulang.
Tapi
saya selalu merasa malam memberi ketenangan. Semakin gelap semakin
ramai. Hampir menyerupai pasar malam yang ingar bingar namun tanpa
penerangan. Sehingga saya tak pernah merasa ketakutan. Tak pernah
merasa tak tenang. Sepanjang mata memandang, hanyalah kegelapan.
Tubuh kelihatan amat samar. Namun, suara-suara begitu jelas
terdengar. Begitu dekat. Sedemikian dekat sehingga aroma napas si
empunya suara itu di hidung terasa melekat. Mata saya mulai
merapat, semakin gelap, semakin semuanya akhirnya begitu terang
terlihat.
Mungkin
karena itulah saya begitu membutuhkan cinta. Seperti malam.
Seperti gelap. Cinta pun membutakan. Saya tidak butuh kacamata
matahari demi mendapatkan gelap di kala siang menyala. Saya tidak
perlu menutup semua tirai dan pintu serta menyumbat sela-sela
terbuka yang membiarkan cahaya menerobos masuk supaya kegelapan
yang saya inginkan sempurna. Saya hanya perlu mencinta dan dengan
seketika butalah mata saya.
Saya
menamakan kebutaan itu gerhana mata. Orang-orang menamakannya
cinta buta. Apa pun namanya saya tidak peduli. Saya hanya ingin
mendengar apa yang ingin saya dengar. Saya hanya ingin melihat apa
yang ingin saya lihat. Dan hanya ialah yang saya ingin lihat, sang
kekasih bak lentera benderang dalam kegulitaan pandangan mata
saya. Dari sinarnyalah saya mendapatkan siang yang kami habiskan
di ranjang-ranjang pondok penginapan. Saling menatap seakan hanya
siang itu hari terakhir kami bisa saling bertatapan. Saling
menyentuh seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling
bersentuhan. Dan melenguh seakan hanya siang itu hari terakhir
kami bisa saling mengeluarkan lenguhan.
Mungkin
satu saat nanti ia akan mengalami gerhana mata seperti saya. Dan
kami bisa tinggal dalam satu dunia yang sama. Tak bertemu hanya
kala siang. Tak menunggu kala pagi dan malam. Tak ada pertanyaan
mengapa hanya bertemu kala siang. Bukan kala pagi atau malam. Tak
ada jawaban karena cinta membutakan saya. Diganti dengan jawaban,
karena cinta telah membutakan kami berdua.
ANALISIS
CERPEN
Psikologi
Sastra Psikoanalisis dalam Cerpen “Cinta diatas Perahu Cadik”
Pad
Pada cerpen
ini
ada keunikan mengenai psikologi
sastra
yang digunakan oleh pengarang. Di bagian depan si pengarang
menonton dari kejauhan. Dapat dikatakan pengarang sebagai peninjau
atau observer. Oleh karena itu sesuai dengan fungsinya seorang
peninjau yang dilukiskan hanyalah apa yang dilihat dan didengar
tanpa melihat ke dalam hati pelakunya. Dengan demikian, pengarang
menggunakan kata dia untuk menyebut pelakunya. Kemudian dari sudut
pandang seperti yang di atas, berubah mengiringi perempuan tua
yang merasa dikhianati menantu lantas berganti lagi beberapa kali.
Perubahan sudut pandang seperti ini berbahaya, apalagi dalam
sebuah cerita yang demikian pendek. Tetapi pengarang berani
menempuh resiko ini dan berhasil. Keberanian, dan keberhasilannya,
berpindah sudut pandang itu rupanya diikat diamankan oleh sesuatu,
yaitu ketidakhadiran tokoh utama sendiri. Tokoh utama Hayati dan
Sukab hilang, mereka justru diceritakan oleh tokoh-tokoh lain.
Ikatan inilah yang membangun semacam tertib baru sehingga
perpindahan-perpindahan itu tidak terasa
seperti retakan yang mengada-ada.
Pengarang
mendeskripsikan pantai dengan suasananya, tempat Hayati berada.
Kemudian menerangkan para nelayan dari segi sosial budayanya
meskipun sepintas.Kedua, pengarang mulai menceritakan tokoh utama
Hayati, yang setengah berlari menuruni tebing dengan pikulan air
pada bahunya. Kemudian Hayati memanggil Sukab, untuk menunggunya,
karena mau ikut dengan perahunya. Kepergian Hayati yang diketahui
mertuanya, membuat mertuanya mulai berkonflik dengan Hayati,
meskipun tokoh utama tidak dihadirkan.Ketiga, mertuanya mulai
marah-marah kepada Dullah anaknya, mengapa tidak mengejar Hayati
dan menentangnya. Dan nenek itu mengunjungi istri Sukab dengan
maksud memengaruhi Waleh istri Sukab agar marah pada Sukab ataupun
Hayati.Keempat, orang-orang termasuk nenek, Dullah, Waleh mulai
cemas karena kedua orang yang berselingkuh itu belum juga pulang.
Sebagian orang mengganggap mereka sudah mati. Sebagian yang lain
mengganggap mereka terdampar di pulau lain dan hidup
bersama.Kelima, pada suatu malam hari ketujuh, perahu Sukab dan
Hayati mendarat. Dalam Perahu terikat seekor ikan besar yang
tertancap tombak milik Sukab. Keduanya digambarkan tampak lusuh,
kulit terbakar, pakaian basah kuyup, giginya kuning sekali, tetapi
mata keduanya menyala-nyala karena semangat hidup yang kuat serta
api cinta yang membara. Keduanya mengerti cerita tentang ikan
besar ini akan berujung pada perceraian mereka masing-masing yang
tak bisa dihindari lagi. Keduanya juga mengerti, betapa bukan
urusan siapapun bahwa mereka telah bercinta
di atas perahu cadik.
Cerita dalam cerpen
“Cinta di Atas Perahu Cadik” merupakan
perselingkuhan.
Dimulai sejak Hayati pergi bersama Sukab yang bukan suaminya
melainkan suami Waleh tetangganya untuk pergi melaut dengan perahu
cadik
atas dasar cinta buta.
Psikologi
Sastra Psikoanalisis dalam Cerpen “Gerhana Mata”
Psikologi
Sastra dalam
cerpen ini adalah tokoh
orang
pertama utama.
Ditunjukkan
bahwa cerpen ini menggunakan kata ganti „saya‟ dan yang
menjadi
karakter
utama adalah “saya‟
tersebut. Berikut ini kutipannya sebagai buktinya.
Saya
tahu, saya akan bisa mengulanginya lagi. Tetapi, dengan satu
konsekuensi.
Harus mengerti statusnya sebagai laki-laki beristri.
Saya
menamakan kebutaan itu gerhana mata. Orang-orangmenamakannya cinta
buta. Apa pun namanya saya tidak peduli. Saya
hanya
ingin mendengar apa yang ingin saya dengar. Saya hanya
inginmelihat apa yang ingin saya lihat .Mungkin karena itulah saya
begitu membutuhkan cinta. Seperti
malam.
Seperti gelap. Cinta pun membutakan. Saya tidak butuh
kacamata
matahari demi mendapatkan gelap di kala siang menyala.Saya tidak
perlu menutup semua tirai dan pintu serta menyumbat sela-sela
terbuka yang membiarkan cahaya menerobos masuk supayakegelapan
yang saya inginkan sempurna. Saya hanya perlu mencinta
dan
dengan seketika butalah mata saya.
Dalam
psikologi
sastra,
gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Gaya
pengarang dalam cerpen ini gaya bahasa yang lugas
dengan
model bercerita. Dalam hal ini, lugas berarti tidak banyak
menggunakan
kata
kiasan, seperti dibuktikan dalam kutipan berikut ini.Saya tahu,
saya akan bisa mengulanginya lagi. Tetapi, dengan satu
konsekuensi.
Harus mengerti statusnya sebagai laki-laki beristri.
Saya
menamakan kebutaan itu gerhana mata. Orang-orang
menamakannya
cinta buta. Apa pun namanya saya tidak peduli. Saya
hanya
ingin mendengar apa yang ingin saya dengar. Saya hanya
inginmelihat apa yang ingin saya lihat
.Dalam
kutipan di atas, terlihat jelas bahwa sang pengarang
menggambarkansesuatu dan menceritakannya tanpa tameng apapun.
Bahasanya apa adanya, lugas,tanpa kiasan. Pengarang juga
menggunakan simbol-simbol, yakni gerhana mata
yang
berarti cinta buta.
cerpen
ini dianggap sarat dengan nilai moral
karena
berhubungan dengan perilaku manusia yang dianggap meresahkan
pelaku
dan
masyarakat.
ANALISIS
PERBANDINGAN
Identifikasi
Titik Mirip
Salah
satu yang dicari dalam studi sastra bandingan adalah pertalian
atau kesamaan. Kesamaan atau kemiripan kedua cerpen yang telah
dianalisis bukan dilihat dari segi struktur, karena memang secara
struktur kedua cerpen ini dihadirkan secara berbeda, baik itu
cerita, penokohan dan sebagainya. Identifikasi titik mirip dalam
kajian ini menggunakan metode psikologi
sastra
yang kemiripan-kemiripannya lebih dispesifikkan pada sisi pelaku
atau tokoh tentang kehidupan kepribadiannya.Kedua
pengarang
ini sama-sama menggunakan psikologi
tokoh dalam cerita
yang menjadikan kritikan mereka terasa lebih halus.. Dalam hal ini
dapat dikatakan bahwa pengarang senada dalam hal cara menyampaikan
ide. Berbicara mengenai ide, cerpen dari kedua pengarang ini pun
memiliki kesamaan yakni sama-sama membahas permasalahan yang
terjadi di dalam kehidupan
seseorang yang dibutakan oleh cinta yang berlawanan dengan
masyarakat
masyarakat. Selain itu, maksud yang ingin disampaikan pengarang
juga dinilai memiliki kemiripan.
Perbandingan
Titik Mirip
Melalui
cerpen “Cinta
diatas Perahu Cadik”,
Seno Gumira Ajidarma mencoba mengungkap ide atau permasalahan yang
berupa
kritik-kritik
terhadap diri
seseorang individu.
Dalam hal ini, ia menghadirkan tokoh yang secara nyata
dalam kehidupan,
sebagai
tokoh
yang dalam kehidupannya sehari-hari dibutakan oleh cinta
dalam masyarakat seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Djenar
Maesa Ayu dalam
cerpen “Gerhana
Mata”
juga mengungkapkan ide atau permasalahan yang berkaitan dengan
kritik terhadap tokoh
individu dalam kepribadiannya.
Bedanya, jika Seno menegaskannya dengan menceritakan
lawan tokoh dengan diri seorang individu yang dibutakan oleh cinta
yang ada dalam cerpen tersebut.
Maka
Djenar
memilih menghadirkan tokoh
lawannya hanya sebuah imajinasi pikiran dengan perumpamaan mata
sebagai kebutaan dalam cintanya yang di alami oleh tokoh pada
cerpen tersebut.
Perbandingan
selanjutnya diarahkan pada pemakaian teori psikologi
sastra,
Pengarang memiliki maksud lain dari sekadar menyuguhkan sebuah
cerita yang memang tertera secara nyata di dalam teks sebuah karya
sastra. Maksud lain dari penceritaan dalam cerpen “Cinta
diatas Perahu Cadik”
dan “Gerhana
Mata”
adalah mengajak pembaca untuk lebih membuka mata dan sadar bahwa
mereka sedang hidup dalam kekacauan
pikiran yang dikuasai oleh kebutaan cinta.
Penafsiran
Perbandingan
Tahap
akhir kegiatan perbandingan adalah penafsiran hasil perbandingan.
Penafsiran berarti penyikapan pengkaji terhadap adanya
kemiripan-kemiripan di antara kedua objek kajian. Tugas dari tahap
ini yaitu menjawab pertanyaan, mengapa terjadi kemiripan di antara
kedua cerpen tersebut. Penafsiran terhadap hasil bandingan itu
harus berdasarkan data-data yang menunjukkan sebab-sebab mengapa
terjadi kemiripan. Oleh karena itu, sebelum menafsirkan hasil
perbandingan dalam pembahasan ini, perlu diuraikan data dan
pertimbangan untuk menentukan kedudukan dari kedua karya tersebut
sebagai berikut. (1) Bahwa antara Seno Gumira Ajidarma sebagai
pengarang cerpen “Cinta
diatas Perahu Cadik”
dan Djenar
Maesa Ayu sebagai
pengarang cerpen “Gerhana
Mata”
dimungkinkan terjadi kontak karena mereka merupakan pengarang
cerpen yang sama-sama memiliki popularitas (sama-sama merupakan
sastrawan nasional), sehingga memunculkan anggapan atau
kemungkinan bila keduanya saling mempengaruhi dalam penciptaan
karyanya. (2) Bahwa kondisi sosial kemasyarakatan yang menyangkut
kehidupan
pribadi tokoh dengan urusan percintaan yang
sama-sama dijadikan sebagai ide cerita menunjukkan perkembangan
yang relatif sama, yakni masalah hubungan seorang
individu yang dikaitkan dengan hubungan percintaan.
Berdasarkan
uraian di atas, pada kajian perbandingan cerpen karya Seno Gumira
Ajidarma dan Djenar
Maesa Ayu ini
menunjukkan kemiripan-kemiripan secara
psikologis, perkembangan pola pikir dan perilaku pengarang yang
relatif sama juga memungkinkan menghasilkan bentuk dan substansi
ekspresi yang relatif sama. Seno dan Djenar
dalam hal ini dinilai memiliki kemiripan pola pikir dan kepekaan
yang tinggi terhadap kehidupan
kepribadian seseorang tentang urusan cinta karena
sama-sama sering menulis cerita yang mengkritik.
Hal itulah yang mengakibatkan adanya kemungkinan munculnya
karya-karya yang memiliki kemiripan pada aspek-aspek tertentu.
KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut
ini. Pertama,
kedua pengarang sama-sama menggunakan simbol-simbol tokoh
dalam
karyanya. Kedua, ide yang menjadi dasar penceritaan masing-masing
karya memiliki kemiripan. Ketiga, secara psikologi
sastra dapat
dilihat kemiripan maksud pengarang dari sisi lain. Keempat, kedua
pengarang memiliki kemiripan pola pikir dan kepekaan yang tinggi
terhadap kehidupan
dalam pribadi seseorang yang berkaitan dengan urusan percintaan
yang membutakan pola pikir tokoh individu dalam cerpen tersebut.
DAFTAR RUJUKAN
Ajidarma, Seno
Gumira. 2011. “Cinta
diatas Perahu Cadik”.
(Online)
http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/10/09/cinta-diatas-perahu-cadik/.
Diakses 20
Oktober 2013.
Ayu,
Djenar
Maesa.
2011. “Gerhana
Mata”.
(Online)
http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/10/09/gerhana-mata/.
Diakses 20
Oktober 2013.
Endraswara,
Suwardi. 2003. Metode
Penelitian Sastra: Epistemologi, Model,
Teori,
dan Aplikasi.
Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Kridalaksana,
Harimurti. 2001. Kamus
Linguistik. Edisi Ketiga.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ratna,
Nyoman Kutha. 2012. Teori,
Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
|
|
5 Piece Ceramic Wire - Titanium Wire
BalasHapusCeramic Wire for your Wire. Tithian has a unique design, which will tungsten titanium create the highest quality of titanium hair trimmer steel babyliss pro titanium from the titanium hair very titanium eyeglasses beginning.