Kamis, 07 November 2013

ANALISIS PERBANDINGAN PSIKOLOGI SASTRA PSIKOANALISIS DALAM CERPEN “CINTA DIATAS PERAHU CADIK” KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA DAN CERPEN “GERHANA MATA” KARYA DJENAR MAESA AYU

Abstrak
Artikel ini membahas mengenai perbandingan cerita pendek (cerpen) “Cinta diatas Perahu Cadik” karya Seno Gumira Ajidarma dan cerpen “Gerhana Mata” karya Djenar Maesa Ayu dengan menggunakan teori psikologi sastra. Psikologi sastra merupakan penelitian yang dilakukan dengan menempatkan karya sastra sebagai gejala yang dinamis. Kehadiran psikologi sastra berkaitan erat antara aspek psikologis dengan unsur tokoh dan penokohan yang ada pada karya sastra tersebut. Sebagai objek psikologi sastra, kedua cerpen ini relevan untuk dianalisis secara psikologis karena memberikan intensitas pada aspek kejiwaan yang di alami oleh tokoh pada kedua cerpen ini.

Kata kunci: perbandingan, psikologi sastra, cerpen

PENDAHULUAN
Karya sastra sebagai cerminan kehidupan masyarakat merupakan dunia subjektivitas yang diciptakan oleh pengarang. Di dalamnya terdapat berbagai aspek kehidupan yang satu sama lainnya saling berkaitan. Aspek kehidupan tersebut berupa aspek psikologis, sosiologis, filsafat, budaya dan agama. Berbagai aspek ini tidak lepas dari pengarang sebagai pusat penciptaan sebuah karya sastra.
Kehidupan dunia sastra yang terus berkembang dari masa ke masa terus mendapat perhatian dengan banyaknya penelitian-penelitian terhadap karya sastra. Karya sastra merupakan tumpahan ide dan pemikiran juga pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Oleh karena itu penelitian sastra melalui kajian ekstrinsik tentunya tidak terlepas dari pengarang karya sastra tersebut. Tentunya setiap pengarang memiliki ciri khas masing-masing dalam menyampaikan ide, pemikiran dan pesannya. Dalam hal ini, sastra bandingan dianggap menjadi kajian akademik yang menarik untuk dilakukan sebuah penelitian sastra.
Menurut Endraswara (2003: 128-129) sastra perbandingan sebagai wilayah keilmuan sastra yang mempelajari keterkaitan antar sastra dan perbandingan sastra dengan bidang lain. Jalin-menjalin antar karya sastra sangat dimungkinkan, karena setiap pengarang menjadi bagian dari pengarang lain. Setiap pengarang sulit lepas dari karya orang lain, karena mereka harus membaca dan meresepsi karya orang lain.
Dalam kajian sastra bandingan, selalu diperlukan kaidah-kaidah teoritis yang berhubungan dengan ilmu sastra. Di samping itu, sastra bandingan juga dimungkinkan membandingkan antara sastra dengan bidang lain yang relevan seperti sejarah, filsafat, agama, dan sebagainya. Kedua belah pihak kadang-kadang saling mendukung, ada titik temu, dan sebaliknya juga ada yang berseberangan.
Mengingat perlunya kaidah-kaidah teoritis dalam penelitian sastra bandingan, penulis memilih mengkaji karya sastra dengan teori psikologi sastra karena memberikan perhatian pada masalah dalam kaitannya dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya sastra tersebut.
Nama Seno Gumira Ajidarma dan Djenar Maesa Ayu di dunia sastra khususnya cerpen memang sudah tidak asing lagi. Seno dan Djenar merupakan pengarang cerpen yang sudah memiliki banyak karya terkenal yang diterbitkan secara nasional. Kedua pengarang ini sama-sama sering menghadirkan ide, pemikiran dan pesan dalam karya sastranya. Hal menariknya, kedua pengarang ini sama-sama menyuguhkan psikologi kepribadian tokoh sebagai ide penceritaan sehingga kedua cerpen inilah yang nantinya akan dikaji.
Secara umum, alasan pemilihan bahan kajian ini dikaitkan dengan latar belakang kedua pengarang yang sama-sama sudah memiliki nama di dunia cerpen nasional. Tentunya tidak menutup kemungkinan apabila antara satu sama lain saling memberi pengaruh dalam kepenulisan cerpennya. Berdasarkan penjabaran di atas, maka penulis akan mempersembahkan sebuah karya tulis dengan judul “Analisis Perbandingan psikologi sastra dalam Cerpen “Cinta diatas Perahu Cadik” Karya Seno Gumira Ajidarma dan Cerpen “Gerhana Mata” Karya Djenar Maesa Ayu”.

METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini akan diperbandingkan cerpen yang berjudul “Cinta diatas Perahu Cadik” karya Seno Gumira Ajidarma dengan cerpen yang berjudul “Gerhana Mata” karya Djenar Maesa Ayu. Metode yang digunakan dalam kajian ini yakni metode penelitian kualitatif induktif. Maksudnya, pengkaji berangkat dari pembacaan dan pemahaman naskah karya sastra (cerpen) secara umum, kemudian mengidentifikasi titik mirip atau dengan kata lain pengkaji mencoba mendeskripsikan dan melihat kemiripan yang terdapat di antara dua karya terlebut. Lebih khususnya lagi, titik mirip yang menjadi tinjauan bukanlah dari sisi intrinsik cerpen, melainkan dari sisi ekstriksik berupa teori psikologi sastra. Selanjutnya pengkaji menentukan gejala-gejala kemiripan yang terjadi dengan cara penafsiran tersendiri dengan data-data yang mendukung.

PENDEKATAN
Kajian ini akan membahas mengenai karya sastra berupa cerpen yang ditinjau dari segi psikologi sastra. Psikologi sastra dalam kajian ini pun difokuskan pada psikologi kepribadianoleh tokoh yang ada dalam cerpen. Ada dua cerpen yang dikaji untuk selanjutnya dibandingkan atau yang biasa disebut tinjauan sastra bandingan.

KONSEP SASTRA BANDINGAN
Sastra bandingan merupakan suatu kajian yang mempelajari hubungan timbal balik karya sastra dari dua atau lebih kebudayaan nasional yang biasanya berlainan bahasa, dan terutama pengaruh karya sastra yang satu terhadap karya sastra lain. Studi ini merupakan upaya interdisipliner, yakni lebih banyak memperhatikan hubungan sastra menurut aspek waktu dan tempat. Dilihat dari aspek waktu, sastra bandingan dapat membandingankan dua atau lebih periode yang berbeda. Sedangkan konteks tempat, akan mengikat satra bandingan menurut wilayah geografis sastra.
Endraswara (2003: 129-140) memaparkan berbagai hal terkait dengan sastra bandingan sebagai berikut. Tujuan sastra bandingan terbagi menjadi enam, antara lain sebagai berikut. Pertama, untuk mencari pengaruh karya sastra satu dengan yang lain dan atau pengaruh bidang lain serta sebaliknya dalam dunia sastra. Kedua, untuk menentukan makna karya sastra yang benar-benar orisinal dan mana yang bukan dalam lingkup perjalanan sastra. Ketiga, untuk menghilangkan kesan bahwa karya sastra nasional tertentu lebih hebat dibanding karya sastra nasional yang lain. Dalam kaitan ini karya sastra dipandang memiliki kedudukan yang setingkat. Keempat, untuk mencari keragaman budaya yang terpantul dalam karya sastra satu dengan yang lainnya. Hal ini sekaligus untuk melihat buah pikiran kehidupan manusia dari waktu ke waktu. Kelima, untuk memperkokoh keuniversalan konsep-konsep keindahan universal dalam sastra. Keenam, untuk menilai mutu karya-karya dari negara-negara dan keindahan karya sastra.
Pada dasarnya, studi sastra bandingan akan mencari dua hal, yaitu: (1) affinity (pertalian, kesamaan) dan atau paralelisme serta varian teks satu dengan yang lain; (2) pengaruh karya sastra satu kepada karya lain atau pengaruh sastra pada bidang lainnya dan sebaliknya. Dua hal tersebut masih bisa dikembangkan lagi menjadi beberapa lingkup studi, antara lain: (1) perbandingan antara karya pengarang satu dengan lainnya, pengarang sezaman, antar generasi, pengarang yang senada, dan sebagainya; (2) membandingkan karya sastra dengan bidang lain seperti arsitektur, pengobatan tradisional, tahayul, dan seterusnya; dan (3) kajian bandingan yang bersifat teoritik, untuk melihat sejarah, teori, dan kritik sastra.
Studi sastra bandingan yang menyangkut dua karya sastra atau lebih hendaknya menekankan pada empat hal, yaitu pengaruh, penetrasi, dan popularitas. Pengaruh adalah daya dukung pengarang atau karya sastra pada suatu negara kepada karya lain. Pengaruh ini merupakan hal paling sentral dalam kajian sastra bandingan. Penetrasi yaitu perembesan pengaruh satu karya sastra ke dalam karya sastra lain. Adapun popularitas dan reputasi menyangkut kemashuran nama seorang pengarang dan karyanya.
Sastra bandingan juga dapat meliputi aspek pengaruh, sumber ilham (acuan), proses pengambilan ilham atau pengaruh itu, dan tema dasar. Dalam kaitannya ini, ada empat kelompok kajian sastra bandingan jika dilihat dari aspek objek garapan yaitu (1) kategori yang melihat hubungan karya satu dengan karya yang lainnya, dengan menelusuri juga kemungkinan adanya pengaruh satu karya terhadap karya yang lain (termasuk di sini adalah interdisipliner dalam sastra bandingan seperti filsafat, sosiologi, agama, dan sebagainya); (2) ketegori yang mengkaji tema karya sastra; (3) kajian terhadap gerakan atau kecenderungan yang menandai suatu peradaban; dan (4) analisis bentuk (genre) karya sastra.
Secara garis besar sastra bandingan dapat dibedakan menjadi dua golongan bentuk kajian, yaitu (1) kajian persamaan dan (2) kajian konsep pengaruh. Kajian persamaan menjawab masalah alasan ataupun penyebab terjadinya kesamaan (sengaja atau ketidaksengajaan). Konsep pengaruh membahas mengenai anggapan bahwa suatu karya dapat terlahir atas pengaruh karya sebelumnya yang dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu (1) perkembangan karir pengarang, (2) proses penciptaan pengarang, dan (3) tradisi atau budaya pengarang.

KONSEP PSIKOLOGI SASTRA PSIKOANALISIS
Psikologi sastra merupakan memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung dalam suatu karya. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa analisis psikologi sastra sama sekali terlepas dengan kebutuhan masyarakat. Sesuai dengan hakikatnya, karya sastra memberikan pemahaman terhadap masyarakat secara tidak langsung. Melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya, misalnya, masyarakat dapat memahami perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan-penyimpangan lain yang terjadi dalam masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan psikis. Ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara psikologi dengan sastra, yaitu: a) memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis, b) memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh fiksional dalam karya sastra, dan c) memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca.
Pada dasarnya psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah yang kedua, yaitu pembicaraan dalam kaitannya dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya. Pada umumnya, aspek-aspek kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama psikologi sastra. Dalam analisis, yang menjadi tujuan adalah tokoh utama, tokoh kedua, tokoh ketiga dan seterusnya.
Psikologi sastra sebagaimana dimaksudkan dalam pembicaraan ini adalah cara-cara penelitian yang dilakukan dengan menempatkan karya sastra sebagai gejala yang dinamis. Teori psikologi yang paling dominan dalam analisis karya sastra adalah teori Freud (1856-1939) yang membedakan kepribadian menjadi tiga macam, yaitu: Id, Ego, dan Super Ego . keberhasilan penelitian tergantung dari kemampuan dalam mengungkapkan kekhasan bahasa yang oleh pengarang. Benar, yang dominan adalah tokoh-tokoh tetapi perlu disadari bahwa keseluruhan unsur disajikan melalui bahasa. Bagaimana tokoh-tokoh, gaya bahasa, latar, dan unsur-unsur lain yang muncul secra berulang-ulang, jelas menunjukkan ketaksadaran bahasa dan memiliki arti secara khas. Bagi Freud, asas psikologi adalah alam bawah sadar, yang disadari secara samar-samar oleh individu yang bersangkutan. Menurutnya, ketidaksadaran justru merupakan bagian yang paling besar dan paling aktif dalam diri setiap orang.
Freud (Milner, 1992: 32-38) juga menghubungkan karya sastra dengan mimpi. Sastra dan mimpi dianggap memberikan kepuasan secara tak langsung. Mimpi seperti tulisan merupakan sistim tanda yang menunjuk pada sesuatu yang berbeda, yaitu melalui tanda-tanda itu sendiri. oleh karena itu, klasifikasi penelitian psikologi sastra dibedakan menjadi: a) psikologi sastra melalui analisis dunia kepengarangan, b) psikologi sastra melalui tokoh-tokoh dan penokohan, dan c) psikologi sastra dalam kaitannya dengan citra arketipe. Cara yang pertama disebut sebagai kritik arketipe sebab analisis dipusatkan pada eksistensi ketaksadaran kolektif.
Psikologi sastra, seperti telah disinggung diatas merupakan model penelitian interdisiplin dengan menetapkan karya sastra sebagai posisi yang lebih dominan. Atas dasar khazanah sastra yang luas, yang dievokasi melalui tradisi yang berbeda-beda, unsur-unsur psikologis pun menampilkan aspek-aspek yang berbeda-beda. Analisis psikologis dibangun atas dasar kekayaan sekaligus perbedaan khazanah kultural bangsa.
Psikologi sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis. Dengan memusatkan perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis konflik batin yang mungkin saja bertentangan dengan teori psikologis. Dalam hubungan inilah peneliti harus menemukan gejala yang tersembunyi atau gejala yang disembunyikan oleh pengarangnya yaitu dengan memanfaatkan teori-teori psikologi yang dianggap relevan. Menurut Wellek dan Warren (1962: 92-93), dalam sebuah karya sastra yang berhasil, psikologi sudah menyatu menjadi karya seni, oleh karena itu tugas peneliti adalah menguraikannya kembali sehingga menjadi jelas dan nyata apa yang dilakukan oleh karya tersebut. Dengan adanya kaitan yang erat antara aspek psikologis dengan unsur tokoh dan penokohan, maka karya sastra yang relevan untuk dianalisis secara psikologis adalah karya-karya yang memberikan intensitas pada aspek kejiwaan tersebut.

SINOPSIS
Sinopsis Cerpen “Cinta diatas Perahu Cadik” Karya Seno Gumira Ajidarma
Dimulai sejak Hayati pergi bersama Sukab yang bukan suaminya melainkan suami Waleh tetangganya untuk pergi melaut dengan perahu cadik. Mereka saling menyintai. Mertua Hayati kesal dengan menantunya itu karena telah terang-terangan pergi bersama lelaki yang bukan suaminya. Nenek tua itu pun jengkel dengan anak laki-lakinya, suami Hayati yang tidak berusaha mengejarnya. Dullah suami Hayati sudah pasrah, karena tahu mereka saling mencintai, dan bersedia bercerai dengan Hayati. Begitu pula Waleh istri Sukab juga sudah mengetahui perselingkuhan suaminya dengan Hayati. Waleh mengharapkan mereka (Hayati dan Sukab) bisa kembali pulang dan kemudian menikah.
Menjelang tengah malam, nenek tua itu pergi dari satu gubuk ke gubuk lain, menanyakan apakah mereka melihat perahu Sukab yang membawa Hayati di atasnya. Jawaban mereka bermacam-macam, tetapi membentuk suatu rangkaian. “ Ya, kulihat perahu Sukab menyalipku dengan Hayati di atasnya. Kulihat mereka tertawa-tawa.” “Perahu Sukab menyalipku, kulihat hayati menyuapi Sukab dengan nasi kuning dan mereka tampaknya sangat bahagia”. “oh, ya, jadi itu perahu Sukab! Kulihat perahu berlayar kumal itu menuruti angin, mesinnya sudah mati, tetapi tidak tampak seorang pun di atasnya. Tokoh-tokoh lain yang ada pada cerpen itu adalah nenek tua, mertua Hayati yang sangat menentang tokoh utama berbuat selingkuh. Dia terus mencari dan menanyakan tokoh utama sudah kembali dari melaut apa belum. Tokoh pasangan yang dikhianati yaitu Dullah suami Hayati, dan Waleh istri Sukab hanya bisa pasrah tanpa ada kemarahan atau pun perlawanan atas perbuatan mereka. Waleh yang sakit malaria di gubugnya hanya ditemani oleh anak perempuan usia lima tahun yang bisu. Dia berharap Hayati bisa kembali dan kemudian bisa menikah. Dullah yang sudah siap bercerai dari Hayati tanpa ada perasaan marah atau dendam. Dia menerima apa adanya. Namun nenek tua itu terus saja memendam kemarahan kepada Hayati dan Sukab. “ Melangkah sepanjang pantai sembari menghindari air pasang, nenek tua itu menggerundel sendirian. Bermain cinta di atas perahu! Perbuatan yang mengundang kutukan! Aku hanya mau bukti bahwa menantuku mati karena pergi dengan lelaki bukan suaminya dan bermain cinta di atas perahu! Alam tidak akan pernah keliru! Hanya para pendosa akan menjadi korban kutukannya! Tetapi, kamu rugi belum menghukum si Jalang Hayati!”.
Dalam Perahu terikat seekor ikan besar yang tertancap tombak milik Sukab. Keduanya digambarkan tampak lusuh, kulit terbakar, pakaian basah kuyup, giginya kuning sekali, tetapi mata keduanya menyala-nyala karena semangat hidup yang kuat serta api cinta yang membara. Keduanya mengerti cerita tentang ikan besar ini akan berujung pada perceraian mereka masing-masing yang tak bisa dihindari lagi. Keduanya juga mengerti, betapa bukan urusan siapapun bahwa mereka telah bercinta di atas perahu cadik.

Sinopsis Cerpen “Gerhana Mata” Karya Djenar Maesa Ayu
Banyak orang yang begitu takut pada malam. Pada gelap. Pada sesuatu yang membuat mata kita seolah buta dan mau tak mau harus meraba-raba. Membuat jantung mereka berdegup lebih kencang. Membuat mereka tak tenang. Membuat mereka rela menukar ketidak-tenangan itu dengan harga listrik walaupun harganya semakin tinggi menjulang. Tapi saya selalu merasa malam memberi ketenangan. Semakin gelap semakin ramai. Hampir menyerupai pasar malam yang ingar bingar namun tanpa penerangan. Sehingga saya tak pernah merasa ketakutan. Tak pernah merasa tak tenang. Sepanjang mata memandang, hanyalah kegelapan. Tubuh kelihatan amat samar. Namun, suara-suara begitu jelas terdengar. Begitu dekat. Sedemikian dekat sehingga aroma napas si empunya suara itu di hidung terasa melekat. Mata saya mulai merapat, semakin gelap, semakin semuanya akhirnya begitu terang terlihat.
Mungkin karena itulah saya begitu membutuhkan cinta. Seperti malam. Seperti gelap. Cinta pun membutakan. Saya tidak butuh kacamata matahari demi mendapatkan gelap di kala siang menyala. Saya tidak perlu menutup semua tirai dan pintu serta menyumbat sela-sela terbuka yang membiarkan cahaya menerobos masuk supaya kegelapan yang saya inginkan sempurna. Saya hanya perlu mencinta dan dengan seketika butalah mata saya. Saya menamakan kebutaan itu gerhana mata. Orang-orang menamakannya cinta buta. Apa pun namanya saya tidak peduli. Saya hanya ingin mendengar apa yang ingin saya dengar. Saya hanya ingin melihat apa yang ingin saya lihat. Dan hanya ialah yang saya ingin lihat, sang kekasih bak lentera benderang dalam kegulitaan pandangan mata saya. Dari sinarnyalah saya mendapatkan siang yang kami habiskan di ranjang-ranjang pondok penginapan. Saling menatap seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling bertatapan. Saling menyentuh seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling bersentuhan. Dan melenguh seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling mengeluarkan lenguhan. Mungkin satu saat nanti ia akan mengalami gerhana mata seperti saya. Dan kami bisa tinggal dalam satu dunia yang sama. Tak bertemu hanya kala siang. Tak menunggu kala pagi dan malam. Tak ada pertanyaan mengapa hanya bertemu kala siang. Bukan kala pagi atau malam. Tak ada jawaban karena cinta membutakan saya. Diganti dengan jawaban, karena cinta telah membutakan kami berdua.



ANALISIS CERPEN
Psikologi Sastra Psikoanalisis dalam Cerpen “Cinta diatas Perahu Cadik”
Pad Pada cerpen ini ada keunikan mengenai psikologi sastra yang digunakan oleh pengarang. Di bagian depan si pengarang menonton dari kejauhan. Dapat dikatakan pengarang sebagai peninjau atau observer. Oleh karena itu sesuai dengan fungsinya seorang peninjau yang dilukiskan hanyalah apa yang dilihat dan didengar tanpa melihat ke dalam hati pelakunya. Dengan demikian, pengarang menggunakan kata dia untuk menyebut pelakunya. Kemudian dari sudut pandang seperti yang di atas, berubah mengiringi perempuan tua yang merasa dikhianati menantu lantas berganti lagi beberapa kali. Perubahan sudut pandang seperti ini berbahaya, apalagi dalam sebuah cerita yang demikian pendek. Tetapi pengarang berani menempuh resiko ini dan berhasil. Keberanian, dan keberhasilannya, berpindah sudut pandang itu rupanya diikat diamankan oleh sesuatu, yaitu ketidakhadiran tokoh utama sendiri. Tokoh utama Hayati dan Sukab hilang, mereka justru diceritakan oleh tokoh-tokoh lain. Ikatan inilah yang membangun semacam tertib baru sehingga perpindahan-perpindahan itu tidak terasa seperti retakan yang mengada-ada.
Pengarang mendeskripsikan pantai dengan suasananya, tempat Hayati berada. Kemudian menerangkan para nelayan dari segi sosial budayanya meskipun sepintas.Kedua, pengarang mulai menceritakan tokoh utama Hayati, yang setengah berlari menuruni tebing dengan pikulan air pada bahunya. Kemudian Hayati memanggil Sukab, untuk menunggunya, karena mau ikut dengan perahunya. Kepergian Hayati yang diketahui mertuanya, membuat mertuanya mulai berkonflik dengan Hayati, meskipun tokoh utama tidak dihadirkan.Ketiga, mertuanya mulai marah-marah kepada Dullah anaknya, mengapa tidak mengejar Hayati dan menentangnya. Dan nenek itu mengunjungi istri Sukab dengan maksud memengaruhi Waleh istri Sukab agar marah pada Sukab ataupun Hayati.Keempat, orang-orang termasuk nenek, Dullah, Waleh mulai cemas karena kedua orang yang berselingkuh itu belum juga pulang. Sebagian orang mengganggap mereka sudah mati. Sebagian yang lain mengganggap mereka terdampar di pulau lain dan hidup bersama.Kelima, pada suatu malam hari ketujuh, perahu Sukab dan Hayati mendarat. Dalam Perahu terikat seekor ikan besar yang tertancap tombak milik Sukab. Keduanya digambarkan tampak lusuh, kulit terbakar, pakaian basah kuyup, giginya kuning sekali, tetapi mata keduanya menyala-nyala karena semangat hidup yang kuat serta api cinta yang membara. Keduanya mengerti cerita tentang ikan besar ini akan berujung pada perceraian mereka masing-masing yang tak bisa dihindari lagi. Keduanya juga mengerti, betapa bukan urusan siapapun bahwa mereka telah bercinta di atas perahu cadik. Cerita dalam cerpen “Cinta di Atas Perahu Cadik” merupakan perselingkuhan. Dimulai sejak Hayati pergi bersama Sukab yang bukan suaminya melainkan suami Waleh tetangganya untuk pergi melaut dengan perahu cadik atas dasar cinta buta.

Psikologi Sastra Psikoanalisis dalam Cerpen “Gerhana Mata”
Psikologi Sastra dalam cerpen ini adalah tokoh orang pertama utama. Ditunjukkan bahwa cerpen ini menggunakan kata ganti „saya‟ dan yang menjadi karakter utama adalah saya‟ tersebut. Berikut ini kutipannya sebagai buktinya. Saya tahu, saya akan bisa mengulanginya lagi. Tetapi, dengan satu konsekuensi. Harus mengerti statusnya sebagai laki-laki beristri. Saya menamakan kebutaan itu gerhana mata. Orang-orangmenamakannya cinta buta. Apa pun namanya saya tidak peduli. Saya hanya ingin mendengar apa yang ingin saya dengar. Saya hanya inginmelihat apa yang ingin saya lihat .Mungkin karena itulah saya begitu membutuhkan cinta. Seperti malam. Seperti gelap. Cinta pun membutakan. Saya tidak butuh kacamata matahari demi mendapatkan gelap di kala siang menyala.Saya tidak perlu menutup semua tirai dan pintu serta menyumbat sela-sela terbuka yang membiarkan cahaya menerobos masuk supayakegelapan yang saya inginkan sempurna. Saya hanya perlu mencinta dan dengan seketika butalah mata saya.
Dalam psikologi sastra, gaya adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Gaya pengarang dalam cerpen ini gaya bahasa yang lugas dengan model bercerita. Dalam hal ini, lugas berarti tidak banyak menggunakan kata kiasan, seperti dibuktikan dalam kutipan berikut ini.Saya tahu, saya akan bisa mengulanginya lagi. Tetapi, dengan satu konsekuensi. Harus mengerti statusnya sebagai laki-laki beristri. Saya menamakan kebutaan itu gerhana mata. Orang-orang menamakannya cinta buta. Apa pun namanya saya tidak peduli. Saya hanya ingin mendengar apa yang ingin saya dengar. Saya hanya inginmelihat apa yang ingin saya lihat .Dalam kutipan di atas, terlihat jelas bahwa sang pengarang menggambarkansesuatu dan menceritakannya tanpa tameng apapun. Bahasanya apa adanya, lugas,tanpa kiasan. Pengarang juga menggunakan simbol-simbol, yakni gerhana mata yang berarti cinta buta. cerpen ini dianggap sarat dengan nilai moral karena berhubungan dengan perilaku manusia yang dianggap meresahkan pelaku dan masyarakat.

ANALISIS PERBANDINGAN
Identifikasi Titik Mirip
Salah satu yang dicari dalam studi sastra bandingan adalah pertalian atau kesamaan. Kesamaan atau kemiripan kedua cerpen yang telah dianalisis bukan dilihat dari segi struktur, karena memang secara struktur kedua cerpen ini dihadirkan secara berbeda, baik itu cerita, penokohan dan sebagainya. Identifikasi titik mirip dalam kajian ini menggunakan metode psikologi sastra yang kemiripan-kemiripannya lebih dispesifikkan pada sisi pelaku atau tokoh tentang kehidupan kepribadiannya.Kedua pengarang ini sama-sama menggunakan psikologi tokoh dalam cerita yang menjadikan kritikan mereka terasa lebih halus.. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa pengarang senada dalam hal cara menyampaikan ide. Berbicara mengenai ide, cerpen dari kedua pengarang ini pun memiliki kesamaan yakni sama-sama membahas permasalahan yang terjadi di dalam kehidupan seseorang yang dibutakan oleh cinta yang berlawanan dengan masyarakat masyarakat. Selain itu, maksud yang ingin disampaikan pengarang juga dinilai memiliki kemiripan.

Perbandingan Titik Mirip
Melalui cerpen “Cinta diatas Perahu Cadik”, Seno Gumira Ajidarma mencoba mengungkap ide atau permasalahan yang berupa kritik-kritik terhadap diri seseorang individu. Dalam hal ini, ia menghadirkan tokoh yang secara nyata dalam kehidupan, sebagai tokoh yang dalam kehidupannya sehari-hari dibutakan oleh cinta dalam masyarakat seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Djenar Maesa Ayu dalam cerpen “Gerhana Mata” juga mengungkapkan ide atau permasalahan yang berkaitan dengan kritik terhadap tokoh individu dalam kepribadiannya. Bedanya, jika Seno menegaskannya dengan menceritakan lawan tokoh dengan diri seorang individu yang dibutakan oleh cinta yang ada dalam cerpen tersebut. Maka Djenar memilih menghadirkan tokoh lawannya hanya sebuah imajinasi pikiran dengan perumpamaan mata sebagai kebutaan dalam cintanya yang di alami oleh tokoh pada cerpen tersebut.
Perbandingan selanjutnya diarahkan pada pemakaian teori psikologi sastra, Pengarang memiliki maksud lain dari sekadar menyuguhkan sebuah cerita yang memang tertera secara nyata di dalam teks sebuah karya sastra. Maksud lain dari penceritaan dalam cerpen “Cinta diatas Perahu Cadik” dan “Gerhana Mata” adalah mengajak pembaca untuk lebih membuka mata dan sadar bahwa mereka sedang hidup dalam kekacauan pikiran yang dikuasai oleh kebutaan cinta.

Penafsiran Perbandingan
Tahap akhir kegiatan perbandingan adalah penafsiran hasil perbandingan. Penafsiran berarti penyikapan pengkaji terhadap adanya kemiripan-kemiripan di antara kedua objek kajian. Tugas dari tahap ini yaitu menjawab pertanyaan, mengapa terjadi kemiripan di antara kedua cerpen tersebut. Penafsiran terhadap hasil bandingan itu harus berdasarkan data-data yang menunjukkan sebab-sebab mengapa terjadi kemiripan. Oleh karena itu, sebelum menafsirkan hasil perbandingan dalam pembahasan ini, perlu diuraikan data dan pertimbangan untuk menentukan kedudukan dari kedua karya tersebut sebagai berikut. (1) Bahwa antara Seno Gumira Ajidarma sebagai pengarang cerpen “Cinta diatas Perahu Cadik” dan Djenar Maesa Ayu sebagai pengarang cerpen “Gerhana Mata” dimungkinkan terjadi kontak karena mereka merupakan pengarang cerpen yang sama-sama memiliki popularitas (sama-sama merupakan sastrawan nasional), sehingga memunculkan anggapan atau kemungkinan bila keduanya saling mempengaruhi dalam penciptaan karyanya. (2) Bahwa kondisi sosial kemasyarakatan yang menyangkut kehidupan pribadi tokoh dengan urusan percintaan yang sama-sama dijadikan sebagai ide cerita menunjukkan perkembangan yang relatif sama, yakni masalah hubungan seorang individu yang dikaitkan dengan hubungan percintaan.
Berdasarkan uraian di atas, pada kajian perbandingan cerpen karya Seno Gumira Ajidarma dan Djenar Maesa Ayu ini menunjukkan kemiripan-kemiripan secara psikologis, perkembangan pola pikir dan perilaku pengarang yang relatif sama juga memungkinkan menghasilkan bentuk dan substansi ekspresi yang relatif sama. Seno dan Djenar dalam hal ini dinilai memiliki kemiripan pola pikir dan kepekaan yang tinggi terhadap kehidupan kepribadian seseorang tentang urusan cinta karena sama-sama sering menulis cerita yang mengkritik. Hal itulah yang mengakibatkan adanya kemungkinan munculnya karya-karya yang memiliki kemiripan pada aspek-aspek tertentu.

KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut ini. Pertama, kedua pengarang sama-sama menggunakan simbol-simbol tokoh dalam karyanya. Kedua, ide yang menjadi dasar penceritaan masing-masing karya memiliki kemiripan. Ketiga, secara psikologi sastra dapat dilihat kemiripan maksud pengarang dari sisi lain. Keempat, kedua pengarang memiliki kemiripan pola pikir dan kepekaan yang tinggi terhadap kehidupan dalam pribadi seseorang yang berkaitan dengan urusan percintaan yang membutakan pola pikir tokoh individu dalam cerpen tersebut.

DAFTAR RUJUKAN
Ajidarma, Seno Gumira. 2011. “Cinta diatas Perahu Cadik”. (Online) http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/10/09/cinta-diatas-perahu-cadik/. Diakses 20 Oktober 2013.
Ayu, Djenar Maesa. 2011. “Gerhana Mata”. (Online) http://cerpenkompas.wordpress.com/2011/10/09/gerhana-mata/. Diakses 20 Oktober 2013.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metode Penelitian Sastra: Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Edisi Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ratna, Nyoman Kutha. 2012. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.











1 komentar:

  1. 5 Piece Ceramic Wire - Titanium Wire
    Ceramic Wire for your Wire. Tithian has a unique design, which will tungsten titanium create the highest quality of titanium hair trimmer steel babyliss pro titanium from the titanium hair very titanium eyeglasses beginning.

    BalasHapus